Kota X, pertengahan September
Suasana
sepulang sekolah merupakan suasana yang cukup menyenangkan apabila
semua orang bisa memandangnya dari sudut pandang Mitha. Dan Mitha
menikmati setiap peristiwa yang terjadi di depan matanya, merasakan tawa
yang keluar dari bibirnya ketika melihat seorang siswa menjatuhkan
jajanannya dari kantung tasnya, dan menggelengkan kepalanya ketika
melihat dua anak yang saling berpegangan tangan menyusuri lorong-lorong
kelas dan tersipu malu tatkala beberapa siswa yang berkerumun menyoraki
mereka. Indahnya cinta.
"Mitha," sebuah suara menyapanya, "maaf aku membuatmu menunggu." Mitha menoleh dan melihat Gara berlari-lari kecil menghampirinya sambil terengah-engah. "Ah, ngga apa-apa kok." jawabnya sambil lalu, toh ia menikmati suasana ini.
"Yuk." Gara menggamit lengannya dan menggandengnya menuju parkiran sepeda motor di depan sekolah.
"Mitha," sebuah suara menyapanya, "maaf aku membuatmu menunggu." Mitha menoleh dan melihat Gara berlari-lari kecil menghampirinya sambil terengah-engah. "Ah, ngga apa-apa kok." jawabnya sambil lalu, toh ia menikmati suasana ini.
"Yuk." Gara menggamit lengannya dan menggandengnya menuju parkiran sepeda motor di depan sekolah.
Mitha
membiarkan angin menyibak rambutnya saat sepeda motor Gara menelusuri
jalan raya menuju ke rumahnya. Tangannya terjulur memeluk pinggang Gara
erat-erat, tangannya yang lain memegangi helm yang menutupi kepalanya
supaya tidak terbawa oleh angin saat mereka melaju. Mendadak Gara
memelankan laju sepeda motornya.
"Mitha," Gara berkata lembut, "kita cari tempat untuk ngobrol yuk."
Mitha mendesah mengiyakan dan merasakan kegalauan yang sejak kemarin mengamuk di hatinya semakin menjadi-jadi.
"Mitha," Gara berkata lembut, "kita cari tempat untuk ngobrol yuk."
Mitha mendesah mengiyakan dan merasakan kegalauan yang sejak kemarin mengamuk di hatinya semakin menjadi-jadi.
Gara
membelokkan sepeda motornya memasuki sebuah gang kecil, menelusuri
jalanan sempit itu, dan berhenti di pekarangan sebuah rumah kecil yang
rindang ditumbuhi pepohonan. Mitha semakin kacau. Gara menurunkan
penopang sepeda motornya, menunggu sampai Mitha turun, dan melangkah ke
arah teras rumah. Mitha menggenggam tali tasnya erat-erat, mencoba
mengusir galau hatinya dan mengikuti langkah Gara. Mitha mendudukkan
dirinya di atas kursi taman di depan Gara duduk, menatap lurus ke
ujung-ujung sepatunya.
Mitha
memejamkan matanya mendengar setiap kata-kata penjelasan Gara. Air mata
mulai mendesak keluar dari kantung matanya. "Maafkan aku," desis Gara.
Ah, mungkin kata-kata itulah yang paling banyak dilatihnya semalaman
supaya bisa diucapkannya saat ini. "Aku mau pulang," Mitha akhirnya
berbisik lirih. "Aku antar ya?" Gara bangkit berdiri dari kursinya.
"Thanks, tapi aku sebaiknya pulang sendiri," Mitha mengeraskan hatinya,
tak ingin kelihatan cengeng di depan Gara. Gara memandang punggung Mitha
yang berjalan menyusuri pekarangan dan menghilang di balik pagar, Gara
menendang meja tamunya, merasakan nyeri di ujung kakinya dan di dalam
hatinya.
Mitha
merasakan hatinya sedikit tenang saat kakinya melangkah semakin jauh
dari rumah Gara, Mitha menolehkna kepalanya, menatap atap rumah itu yang
menyembul di atas pepohonan. Tak ada lagi Gara yang manis, yang
membelai rambutnya dengan lembut, membuatnya tertawa riang, yang ada
hanyalah angin yang menghembus sepoi, menjadi saksi bisu berakhirnya
hubungan cinta yang telah empat tahun terjalin di antara mereka.
Mitha tidak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya bertanya-tanya selama perjalanan pulang di dalam angkutan umum itu, yang diinginkannya saat ini adalah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, membenamkan kepalanya di dalamAgen Domino bantal dan berteriak sekuat-kuatnya
melepaskan beban di hatinya.
Mitha tidak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya bertanya-tanya selama perjalanan pulang di dalam angkutan umum itu, yang diinginkannya saat ini adalah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, membenamkan kepalanya di dalam
Kota X, sehari menjelang lebaran
"Tiga...dua...satu..."
Ray mengikuti detak jam dinding di atas kepalanya. Tepat pada hitungan
kesatu Ray mengangkat tangannya, menopang tubuhnya, menggoyangkan
kepalanya, dan memandang kegelapan ruang di sekelilingnya.
Matanya menangkap geliatan tubuh telanjang di sampingnya, bibirnya menyunggingkan senyuman nakal. Ray membungkukkan tubuhnya, menggigit kecil daun telinga gadis di sebelahnya dan berbisik, "I love you..". Gadis di sampingnya hanya mengeluh pendek, ketidak acuhan itu cukup untuk mengusik ego Ray. Tangannya terjulur menyusup ke balik kain sprei, memeluk si gadis dari belakang, menemukan, meraba, dan meremas payudara si gadis di sampingnya, membuat si gadis terbangun dan menggeliat, "Ray...." "Ssshh...enak begini," desis Ray di telinga si gadis. Ray mengangkat paha kanannya, memeluk pinggul si gadis dengan kakinya, menurunkan pinggulnya dan menyusupkan batang penisnya di lipatan paha si gadis. Si gadis mendesah kecil dan membuka pahanya. Ray membenamkan hidungnya di rambut si gadis, menciumi aroma segarnya, dan menggerak-gerakkan pinggulnya, menggesekkan penisnya di bibir vagina si gadis. Telapak tangannya meremas dan memijat payudara si gadis, membuat si gadis terengah-engah dalam kenikmatan yang diberikannya. Ray mendesis dan tertawa lirih saat si gadis menjerit kecil ketika ujung penisnya menusuk liang vagina si gadis. Ray menikmati kegusaran gadis itu yang secara impresif membalikkan tubuhnya dan berusaha menamparnya. Ray memegang pergelangan tangan si gadis, mengecup bibirnya, "Sakit ya? Kasihan deh." Dan merasakan tangan si gadis melemas, membalas ciumannya dan melumat bibirnya. Ray memandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. "Ah, puasa terakhirpun kulewatkan," desahnya. Ray bangkit dari tempat tidur dan memunguti bajunya yang berserakan, mengenakannya, dan mengecup bibir Enni dari pinggir tempat tidur sebelum melangkah menuju jendela. Maling. Dan tuduhan itu membuatnya geli.
Matanya menangkap geliatan tubuh telanjang di sampingnya, bibirnya menyunggingkan senyuman nakal. Ray membungkukkan tubuhnya, menggigit kecil daun telinga gadis di sebelahnya dan berbisik, "I love you..". Gadis di sampingnya hanya mengeluh pendek, ketidak acuhan itu cukup untuk mengusik ego Ray. Tangannya terjulur menyusup ke balik kain sprei, memeluk si gadis dari belakang, menemukan, meraba, dan meremas payudara si gadis di sampingnya, membuat si gadis terbangun dan menggeliat, "Ray...." "Ssshh...enak begini," desis Ray di telinga si gadis. Ray mengangkat paha kanannya, memeluk pinggul si gadis dengan kakinya, menurunkan pinggulnya dan menyusupkan batang penisnya di lipatan paha si gadis. Si gadis mendesah kecil dan membuka pahanya. Ray membenamkan hidungnya di rambut si gadis, menciumi aroma segarnya, dan menggerak-gerakkan pinggulnya, menggesekkan penisnya di bibir vagina si gadis. Telapak tangannya meremas dan memijat payudara si gadis, membuat si gadis terengah-engah dalam kenikmatan yang diberikannya. Ray mendesis dan tertawa lirih saat si gadis menjerit kecil ketika ujung penisnya menusuk liang vagina si gadis. Ray menikmati kegusaran gadis itu yang secara impresif membalikkan tubuhnya dan berusaha menamparnya. Ray memegang pergelangan tangan si gadis, mengecup bibirnya, "Sakit ya? Kasihan deh." Dan merasakan tangan si gadis melemas, membalas ciumannya dan melumat bibirnya. Ray memandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. "Ah, puasa terakhirpun kulewatkan," desahnya. Ray bangkit dari tempat tidur dan memunguti bajunya yang berserakan, mengenakannya, dan mengecup bibir Enni dari pinggir tempat tidur sebelum melangkah menuju jendela. Maling. Dan tuduhan itu membuatnya geli.
CHAPTER I
Pantai Z, lebaran kedua, pukul 03.00 pagi
"Tapi,
Ray, aku masih susah untuk melupakannya." Ray menatap mata sendu Mitha
dalam-dalam, memandang kearah pasang yang mulai terlihat surut,
menghisap rokoknya dalam-dalam, "Walau bagaimanapun, yang namanya cinta,
memang cenderung berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang
sulit dilupakan, karena di situlah letak karasteristik sebuah perasaan
cinta."
"Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?"
Ray mengembangkan senyumnya, membuang puntung rokok yang masih setengah panjangnya itu jauh-jauh ke pasir pantai, "Jangan mengacaukan cinta dengan kasih." Mitha mengikuti gerakan puntung rokok yang melayang lalu padam setelah mencapai permukaan pasir, "Maksud kamu?" Ray bangkit berdiri, menggosokkan telapak tangannya yang terasa dingin ke pahanya, membersihkan butir-butir pasir yang menempel, "Kasih, tidak terbawa oleh nafsu, karena itu ia abadi adanya. Tetapi cinta lekat dengan nafsu, nafsu ingin memiliki, ingin mengikat, menguasai, memuaskan, dan egoisme adalah inti utama dari cinta," sampai di sini Ray menghela nafasnya, berusaha menimbulkan kesan dalam pada setiap ucapannya, "dan bukankah itu yang selalu disenandungkan orang-orang dalam lagu-lagu mereka? Pernahkah mereka membicarakan tentang kasih? Kasih yang tidak menuntut, hanya memberi, berlandaskan pengorbanan, tidak cemburu, murah hati, dan sebagainya seperti yang pernah engkau pelajari?" Mitha mengalihkan pandangannya dari Ray ke arah pantai, "Kamu tahu banyak, Ray," gumamnya, "dan mungkin kau benar." Ray tertawa, melompat kecil ke belakang Mitha, memegang pundaknya dan memijat perlahan, "Kau mengerti sekarang?"
"Tujuh puluh lima persen," senyum Mitha menikmati pijatan Ray. Ray mencium pipi si gadis dari belakang, berlari menuju mobilnya, membukakan pintu samping dan membungkuk, "Shall we go?" Mitha tertawa melihat gayanya yang konyol, menjewer kuping Ray sebelum melangkah masuk ke dalam mobil.
"Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?"
Ray mengembangkan senyumnya, membuang puntung rokok yang masih setengah panjangnya itu jauh-jauh ke pasir pantai, "Jangan mengacaukan cinta dengan kasih." Mitha mengikuti gerakan puntung rokok yang melayang lalu padam setelah mencapai permukaan pasir, "Maksud kamu?" Ray bangkit berdiri, menggosokkan telapak tangannya yang terasa dingin ke pahanya, membersihkan butir-butir pasir yang menempel, "Kasih, tidak terbawa oleh nafsu, karena itu ia abadi adanya. Tetapi cinta lekat dengan nafsu, nafsu ingin memiliki, ingin mengikat, menguasai, memuaskan, dan egoisme adalah inti utama dari cinta," sampai di sini Ray menghela nafasnya, berusaha menimbulkan kesan dalam pada setiap ucapannya, "dan bukankah itu yang selalu disenandungkan orang-orang dalam lagu-lagu mereka? Pernahkah mereka membicarakan tentang kasih? Kasih yang tidak menuntut, hanya memberi, berlandaskan pengorbanan, tidak cemburu, murah hati, dan sebagainya seperti yang pernah engkau pelajari?" Mitha mengalihkan pandangannya dari Ray ke arah pantai, "Kamu tahu banyak, Ray," gumamnya, "dan mungkin kau benar." Ray tertawa, melompat kecil ke belakang Mitha, memegang pundaknya dan memijat perlahan, "Kau mengerti sekarang?"
"Tujuh puluh lima persen," senyum Mitha menikmati pijatan Ray. Ray mencium pipi si gadis dari belakang, berlari menuju mobilnya, membukakan pintu samping dan membungkuk, "Shall we go?" Mitha tertawa melihat gayanya yang konyol, menjewer kuping Ray sebelum melangkah masuk ke dalam mobil.
Kota X, awal tahun baru
Mitha
merasa bingung dengan dirinya sendiri, menyaksikan Gara yang berlutut
memeluk kakinya dan memohonnya kembali adalah bunga mimpinya setiap
hari, dan seperti kebanyakan mimpi, Mitha hanya menganggapnya sebagai
suatu pelampiasan keinginan perfeksionis yang tidak tercapai di
kehidupan nyata. Namun kini......
"Mitha, aku tak bisa hidup tanpa kamu," Gara membenamkan wajahnya di sela-sela kaki gadis yang duduk di hadapannya dan membasahinya.
"Gara....." Mitha merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Bahkan sampai sekarang aku masih tetap menyayangimu. Mitha membungkukkan tubuhnya, memegang bahu Gara, dan mengecup ubun-ubunnya, "Bagaimana dengan keluargamu?" Gara mendekap kaki Mitha lebih erat, "Persetan dengan mereka."
"Mitha, aku tak bisa hidup tanpa kamu," Gara membenamkan wajahnya di sela-sela kaki gadis yang duduk di hadapannya dan membasahinya.
"Gara....." Mitha merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Bahkan sampai sekarang aku masih tetap menyayangimu. Mitha membungkukkan tubuhnya, memegang bahu Gara, dan mengecup ubun-ubunnya, "Bagaimana dengan keluargamu?" Gara mendekap kaki Mitha lebih erat, "Persetan dengan mereka."
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 03.15 pagi
"Alangkah susahnya melupakan cinta pertama."
Ray tersenyum, memperhatikan pepohonan yang berlari di sekitarnya, "Kata orang, cinta pertama dibawa mati, 'tul ngga?" Mitha menarik nafas panjang, "Aku tak pernah mencoba membayangkan untuk mengecup bibir seseorang dan menyerupakannya dengan Gara."
Ray menggerakkan stirnya ke kanan, menghindari kucing liar yang mendadak melintasi jalan.
"Bukankah beberapa orang justru melakukannya?"
Ray tersenyum, memperhatikan pepohonan yang berlari di sekitarnya, "Kata orang, cinta pertama dibawa mati, 'tul ngga?" Mitha menarik nafas panjang, "Aku tak pernah mencoba membayangkan untuk mengecup bibir seseorang dan menyerupakannya dengan Gara."
Ray menggerakkan stirnya ke kanan, menghindari kucing liar yang mendadak melintasi jalan.
"Bukankah beberapa orang justru melakukannya?"
Masa-masa kebahagiaan dan kedewasaan
Mitha
memperoleh kembali kebahagiaannya yang terenggut saat perpisahannya
dengan Gara. Hubungan 'backstreet' mereka berlangsung seakan begitu
sempurna, penuh dengan canda tawa dan keceriaan. Namun Mitha harus rela
menempuh hubungan jarak jauh tatkala Ray lebih memutuskan untuk
mengikuti amanat orang tuanya sebagai seorang anak tunggal, yaitu dengan
berkuliah di Surabaya, sementara Mitha memperoleh PMDK-nya dari sebuah
universitas negeri terkemuka di Bandung. Gara berjanji akan menjenguknya
sebisa mungkin. Mitha sadar bahwa Gara bukanlah berasal dari keluarga
yang mampu, namun yang diingat dan diinginkannya saat itu adalah bahwa
bagaimanapun ia harus mempertahankan hubungan ini sebisa mungkin. Mitha
mengalami berbagai cobaan yang berat selama kuliahnya di Bandung, banyak
lelaki yang terpikat oleh kemolekan dan keanggunannya sebagai keturunan
putri keraton dan berusaha memikatnya dengan berbagai cara yang luar
biasa yang cukup untuk menjatuhkan hati gadis manapun juga. Tapi Mitha
masih mampu bertahan dan mengeraskan hatinya, menolak setiap uluran
tangan dan godaan yang datang, dan hanya bisa melampiaskannya ketika
Gara datang menjenguknya dengan kecintaan dan kerinduannya, membelai
tubuhnya dan bercinta di wisma-wisma murah yang berserakan di sekitar
kampusnya.
Mitha
tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang lebih dewasa, dan
seiring perkembangannya, Mitha menjadi semakin khawatir akan masa depan
hubungan mereka yang semakin kabur semenjak rakyat mulai tersegmentasi
oleh kekacauan-kekacauan berbau SARA yang marak di daerah-daerah. Hal
inilah yang mampu menahan dan menguatkan dirinya ketika Gara mengendus
telinganya di atas kasur murahan dan memohonnya untuk melakukan hubungan
suami istri. Keinginan dan hasratnya tertahan oleh ketakutannya sendiri
akan masa depan yang kabur itu, dan Gara sepertinya mengerti akan
ketakutan itu, mencoba menghormati keputusannya, walaupun terkadang
menjadi emosionil ketika hasratnya tak terlampiaskan.
"Gara,
bagaimana dengan kita?" Mitha mendesah, merasa berat melepaskan
kepergian Gara selama dua bulan ke Gresik. Di lain pihak, Mitha sadar
posisi Gara yang menjadi harapan satu-satunya sebagai calon tiang
penopang perekonomian keluarganya. Gara memeluk tubuh telanjang Mitha,
membisikkan janji-janji indah ke kupingnya, "Aku akan menyuratimu."
bisik Gara.
"Aku akan mencoba bertahan," Mitha mendesah lirih.
Gara membungkuk di atasnya, mengecup puting susunya, menindihnya dan meletakkan batang penisnya di bibir vagina gadisnya. Malam itu menjadi milik mereka, namun bagi Mitha, kenyataan itu justru menimbulkan alasan baru untuk segera mengakhiri ketidak pastian cerita cinta mereka. Dan kembali malam itu, Gara merasakan penolakan Mitha saat gadis itu mendorong tubuhnya ke samping, memegang batang penisnya dan memaksa spermanya keluar.
"Aku akan mencoba bertahan," Mitha mendesah lirih.
Gara membungkuk di atasnya, mengecup puting susunya, menindihnya dan meletakkan batang penisnya di bibir vagina gadisnya. Malam itu menjadi milik mereka, namun bagi Mitha, kenyataan itu justru menimbulkan alasan baru untuk segera mengakhiri ketidak pastian cerita cinta mereka. Dan kembali malam itu, Gara merasakan penolakan Mitha saat gadis itu mendorong tubuhnya ke samping, memegang batang penisnya dan memaksa spermanya keluar.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 03.45 pagi
Ray
merasakan pengaruh caffein itu membuat kantung kemihnya beroperasi
lebih cepat. Ray mengurangi laju mobilnya dan menghentikannya di bahu
jalan, "Pipis dulu." Mitha melengos dengan perasaan geli, "Gokil, ah."
Ray tertawa dan keluar dari mobil.
"Aku kagum padamu," Ray berkata ketika mobil yang mereka tumpangi kembali melaju di atas jalanan hutan.
"Ah, Ray. Aku bukan gadis selemah yang kau kira."
"Mungkin cowokmu yang bego," tawa Ray, yang segera meringis ketika kepalan tinju Mitha mendarat di lengan kirinya.
Tawa mereka mengiringi instrumental Richard Clayderman yang mengalun dari tape mobil, menyeruak kegelapan hutan dan kerumunan serangga malam.
"Ah, Ray. Aku bukan gadis selemah yang kau kira."
"Mungkin cowokmu yang bego," tawa Ray, yang segera meringis ketika kepalan tinju Mitha mendarat di lengan kirinya.
Tawa mereka mengiringi instrumental Richard Clayderman yang mengalun dari tape mobil, menyeruak kegelapan hutan dan kerumunan serangga malam.
CHAPTER II
Ilustrasi Dosa
Gadis
itu merintih kecil ketika bibir si Pria menyentuh dan menghisap lebut
puting susunya, badannya menggelinjang di atas kasur yang mulai basah
oleh keringat. Si Pria memainkan jemarinya di paha si Gadis,
membelainya, menelusurinya, menemukan dan membuka lipatan paha si Gadis.
Erangan dan keluhan keluar dari bibir si Gadis ketika jemari itu
memasuki dan membelai dinding-dinding vaginanya, tangannya terangkat dan
memeluk leher si Pria yang kini menjilati seluruh permukaan dadanya.
Tangan si Pria terjulur, menuntun pergelangan tangan si Gadis ke arah
penisnya, membiarkan jemari si Gadis bermain-main dengan batang penisnya
yang menegang, sementara tangannya sendiri kembali menyelip di
selangkangan si gadis dan memainkan bibir-bibir vagina si gadis.
Mereka berdua mengeluh, mendesah, dan menggelinjang akan setiap rangsangan yang saling mereka bagi satu dengan lainnya.
Si
Pria mengangkat tubuhnya, menatap lurus ke mata si Gadis, mencari-cari
jawaban atas permintaan abstraknya, mendesah saat si Gadis menganggukkan
kepalanya dengan gerakan samar. Si Pria menurunkan pantatnya perlahan,
memegang batang penisnya dengan tangan kanannya, dan menyentuhkan ujung
penisnya menyibak bibir vagina si gadis memburu liang kehangatannya. Si
Gadis menjerit lirih ketika ujung penis si Pria menusuk dan berusaha
membuka jepitan liang vaginanya. Si Pria mengerang tertahan, mendengus,
dan menekan penisnya lebih kuat, kepalanya menunduk dan menciumi wajah
si Gadis yang mulai basah oleh keringat. Erang kesakitan keluar dari
bibir si Gadis saat penis si Pria berhasil menembus selaput daranya,
memenuhi liang vaginanya yang terasa berdenyut-denyut. Si Pria
membiarkan gerakannya terhenti, meresapi kenikmatan denyut otot liang
vagina si Gadis, menciumi lehernya, dadanya, ketiaknya yang bersih.
Kesakitan dan rasa nyeri yang dirasakan si Gadis membuatnya terengah dan
mengerang, meronta saat penetrasi batang penis si Pria seakan jarum
yang menusuk saraf-saraf sekujur tubuhnya. Si Pria mendengus-dengus,
menggerakkan pinggulnya semakin cepat, tidak mengacuhkan geliatan si
Gadis dan erangan kesakitannya, mengencangkan otot pinggulnya, dan
menarik keluar penisnya sebelum spermanya membanjiri liang vagina si
Gadis. Kepala si Pria terangkat, mulutnya mengeluarkan desahan penuh
kenikmatan. Si Gadis merasakan otot-otot tubuhnya melemas, merasakan
beban yang menindih dadanya saat kepala si Pria menempel di permukaan
kulit payudaranya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 04.15 pagi
"Sssshhh..
hhh...." Ray mengepulkan asap rokok dari tepi bibirnya. Mitha
memandangi langit yang mulai berwarna kebiruan, pertanda matahari akan
segera muncul. Beberapa pecari kayu bakar terpaksa meminggirkan sepeda
mereka saat mobil yang dikendarai kedua anak manusia itu melaju melintas
dengan kecepatan yang cukup untuk menekan udara menggoyangkan sepeda
mereka. "Ray, benarkah banyak terdapat cowok oportunis di dunia ini?"
Mitha membuyaran kesunyian di antara mereka. Suatu pertanyaan yang
merepotkan, pikir Ray saat itu, "Seandainya saja kebanyakan pria tidak
tercipta dengan pemikiran yang lebih kuat dari perasaannya, dan dengan
tanpa libido yang luar biasa, mungkin jawabannya adalah tidak."
Mitha menghela nafasnya dalam-dalam, matanya masih memndangi pepohonan dari balik jendela di samping tubuhnya. "Namun," Ray meneruskan, "sekarang semuanya kita kembalikan saja kepada yang dinamakan nafsu. Nafsu mampu membuat segala cahaya menjadi kegelapan, sebaik apapun manusia, apabila nafsu menguasainya...."
"Aku tahu itu," Mitha memotong perkataan Ray.
Mitha menghela nafasnya dalam-dalam, matanya masih memndangi pepohonan dari balik jendela di samping tubuhnya. "Namun," Ray meneruskan, "sekarang semuanya kita kembalikan saja kepada yang dinamakan nafsu. Nafsu mampu membuat segala cahaya menjadi kegelapan, sebaik apapun manusia, apabila nafsu menguasainya...."
"Aku tahu itu," Mitha memotong perkataan Ray.
Bandung, pertengahan Mei
Mitha
merasakan kepiluan hatinya saat menyaksikan Gara yang menutupi hidung
dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya. "Maafkan aku," bahkan Mitha
tidak menjadi geli merasakan anekdot ini, selintas ingatannya betapa
iapun berusaha menghapalkan perkataan ini sepanjang malam untuk melatih
keberaniannya, persis seperti Gara beberapa tahun lalu.
Mitha berusaha mengeraskan hatinya untuk tidak mengakui kebohongannya, berusaha mengalihkan pandangan matanya ke ujung-ujung jemari kakinya.
"Bunuhlah aku, Gara," Mitha terisak, "karena kelemahanku, apapun asalkan kau merasa puas." Mitha mencoba membangkitkan kebencian Gara kepadanya, karena ketidak mampuannya menahan godaan di saat-saat kesepiannya. Gara menurunkan tangannya, menatap Mitha dengan mata berair, merasakan saraf-sarafnya terbakar di sisi keningnya, menggeram lirih, "Alangkah ringannya kematian atas luka yang kautorehkan di jangka kepercayaanku."
Gara bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
Mitha berusaha mengeraskan hatinya untuk tidak mengakui kebohongannya, berusaha mengalihkan pandangan matanya ke ujung-ujung jemari kakinya.
"Bunuhlah aku, Gara," Mitha terisak, "karena kelemahanku, apapun asalkan kau merasa puas." Mitha mencoba membangkitkan kebencian Gara kepadanya, karena ketidak mampuannya menahan godaan di saat-saat kesepiannya. Gara menurunkan tangannya, menatap Mitha dengan mata berair, merasakan saraf-sarafnya terbakar di sisi keningnya, menggeram lirih, "Alangkah ringannya kematian atas luka yang kautorehkan di jangka kepercayaanku."
Gara bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 04.35 pagi
"Mungkin
kamu akan menyetujui pendapat bahwa cinta yang bergelimang nafsu akan
selalu menuntut kesetimpalan perbuatan apapun yang mengkhianatinya.
Bukankah begitu, Ray?" Mitha memandang Ray yang mencoba memecah
konsentrasinya.
"Kamu membuatku semakin terbawa oleh ceritamu," Ray tertawa dan membuang rokok di jepitan jemarinya keluar jendela.
Bandung, pertengahan Mei
"Gara!"
jeritan lirih itu tak dihiraukannya. Gara memegang tangan Mitha dengan
kasar dan menarik gadis itu berdiri, Mitha melihat pandangan mata Gara
dibayangi kebencian bercampur dengan air mata, bulu-bulu roma gadis itu
berdiri dan adrenalin di sekujur tubuhnya engalir semakin cepat. Gara
menempelkan tubuhnya di tubuh Mitha, menjambak rambut gadis itu dan
menarik kepalanya ke belakang, mendesis, "Terlalu ringan...."
Mitha dapat merasakan hawa kebencian itu menghembus wajahnya. Gara membalikkan tubuh Mitha, tetap menjambak rambut gadis itu, menekan punggungnya sampai setengah tertelungkup di atas sofa.
"Gara....." Mitha mulai merasakan kengerian itu memaksa air matanya mengalir lebih deras, sejenak keraguan akan rencananya menyeruak di benaknya, namun akankah sesorang mampu membagi alternatif lain dari kekerdilan pemikirannya saat itu?
Gara menyelipkan tangannya ke balik pakaian Mitha, meremas kasar payudara si gadis, menggeram, "AKU sekarang..." Mitha mengerang kesakitan saat kuku-kuku Gara menancap di kulitnya. Setelah merasa puas meremas, Gara mengeluarkan tangannya dan mengangkat rok Mitha melewati pinggulnya, menarik celana dalam si gadis dengan paksa, membuka kaki Mitha dengan dengkulnya. Mitha merasakan kepiluan dalam dirinya, kenyataan ini adalah yang kemudian disadarinya sebagai konsekuensi yang harus diterimanya dari pengorbanannya sebagai seorang kekasih, membuatnya membatalkan setiap keinginannya untuk meronta dan melepaskan diri. Gara menyusupkan jemarinya ke selangkangan Mitha, meremas dan menggesek dengan kasar kemaluan si gadis, membuat Mitha meringis menahan rasa sakitnya. Gara menggeram dan menggigit pinggul si gadis dalam-dalam. meninggalkan jejak kemerahan di kulit Mitha yang putih, dan menusukkan telunjuknya ke lubang vagina gadis di bawahnya. Mitha menjerit kesakitan, merasakan setiap kengerian itu menusuk dan mengoyak kemaluannya, namun jeritannya berubah menjadi isak tertahan saat Mitha mengeraskan hatinya kembali dengan menggigit bibirnya dalam-dalam. "Kamu menyukainya, KAN?" Gara menggeram, merasa puas akan kepasrahan Mitha. Gara mengeluarkan jarinya dan membuka celananya, mengeluarkan penisnya yang menegang sejak tadi karena rangsangan dari ilusinya atas persetubuhan Mitha dengan si pria itu.
Mitha dapat merasakan hawa kebencian itu menghembus wajahnya. Gara membalikkan tubuh Mitha, tetap menjambak rambut gadis itu, menekan punggungnya sampai setengah tertelungkup di atas sofa.
"Gara....." Mitha mulai merasakan kengerian itu memaksa air matanya mengalir lebih deras, sejenak keraguan akan rencananya menyeruak di benaknya, namun akankah sesorang mampu membagi alternatif lain dari kekerdilan pemikirannya saat itu?
Gara menyelipkan tangannya ke balik pakaian Mitha, meremas kasar payudara si gadis, menggeram, "AKU sekarang..." Mitha mengerang kesakitan saat kuku-kuku Gara menancap di kulitnya. Setelah merasa puas meremas, Gara mengeluarkan tangannya dan mengangkat rok Mitha melewati pinggulnya, menarik celana dalam si gadis dengan paksa, membuka kaki Mitha dengan dengkulnya. Mitha merasakan kepiluan dalam dirinya, kenyataan ini adalah yang kemudian disadarinya sebagai konsekuensi yang harus diterimanya dari pengorbanannya sebagai seorang kekasih, membuatnya membatalkan setiap keinginannya untuk meronta dan melepaskan diri. Gara menyusupkan jemarinya ke selangkangan Mitha, meremas dan menggesek dengan kasar kemaluan si gadis, membuat Mitha meringis menahan rasa sakitnya. Gara menggeram dan menggigit pinggul si gadis dalam-dalam. meninggalkan jejak kemerahan di kulit Mitha yang putih, dan menusukkan telunjuknya ke lubang vagina gadis di bawahnya. Mitha menjerit kesakitan, merasakan setiap kengerian itu menusuk dan mengoyak kemaluannya, namun jeritannya berubah menjadi isak tertahan saat Mitha mengeraskan hatinya kembali dengan menggigit bibirnya dalam-dalam. "Kamu menyukainya, KAN?" Gara menggeram, merasa puas akan kepasrahan Mitha. Gara mengeluarkan jarinya dan membuka celananya, mengeluarkan penisnya yang menegang sejak tadi karena rangsangan dari ilusinya atas persetubuhan Mitha dengan si pria itu.
Gara
menahan tubuh Mitha dengan sikut kirinya, sementara tangan kanannya
menggenggam batang penisnya, memainkannya seakan ragu akan tindakannya
sendiri. Namun hawa kebencian dan imajinasi yang menyakitkan hatinya
membuatnya seakan gila. Gara memegang pantat Mitha, membukanya dan
menghujamkan penisnya sekuat tenaga ke liang vagina si gadis. Mitha
membenamkan mulutnya ke sofa, mengerutkan keningnya dan menjerit
sejadi-jadinya, perutnya seakan ditusuk oleh pisau tajam yang mengoyak
dan mengguncang otot-otot selangkangannya.
Gara
mengerang merasakan kesempitan liang vagina gadis di bawahnya, dan
mendesis saat menggerakkan pinggulnya dengan kasar. Mitha merasakan
kenyerian yang amat sangat, air matanya membanjiri kain penutup sofa,
gadis itu menggigit kain itu sekuat tenaganya, berusaha menyalurkan
semua rasa sakit di selangkangannya, tangannya menggapai-gapai dan
mencengkeram pergelangan tangan Gara yang menjambak dan menekan
kepalanya. Gara menggerakkan pinggulnya semakin cepat, hanyut dalam
kenikmatan kebenciannya, "MAMPUS!" Gara mengerang dan menekan penisnya
dalam-dalam. Mitha menjerit tertahan dari mulutnya yang terkatup,
merasakan cairan sperma itu menyembur membasahi saraf-saraf di dinding
liang vaginanya. Gara menekan-nekan beberapa saat, menarik keluar batang
penisnya yang basah dan berwarna kemerahan, merasa puas membayangkan
betapa tindakannya telah menorehkan luka di kemaluan Mitha.
Mitha terisak dalam kenyerian dan kepedihan yang dirasakannya.
Mitha terisak dalam kenyerian dan kepedihan yang dirasakannya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 05.05 pagi
Ray menyalakan lagi sebatang marlboro yang sudah terselip di ujung bibirnya.
"Impulsif dan emosionil," Ray mendesis, mengepulkan asap rokok keluar jendela, berusaha untuk menahan emosinya sendiri yang sedikit terhanyut. Rumah-rumah mulai banyak terlihat di pinggir jalan, pertanda bahwa mereka sudah mulai memasuki kota. "Tapi tepat seperti apa yang kuharapkan darinya."
"Ah?"
"Impulsif dan emosionil," Ray mendesis, mengepulkan asap rokok keluar jendela, berusaha untuk menahan emosinya sendiri yang sedikit terhanyut. Rumah-rumah mulai banyak terlihat di pinggir jalan, pertanda bahwa mereka sudah mulai memasuki kota. "Tapi tepat seperti apa yang kuharapkan darinya."
"Ah?"
Epilog :
Pasca kejadian
Semenjak
kejadian hari itu, Gara tak pernah lagi menghubungi Mitha. Mitha
sendiri tidak pernah mencoba untuk mengganggu Gara, bahkan saat Gara
diwisuda, Mitha hanya mendengar kabarnya dari salah seorang temannya,
dan hanya bisa berdoa bersyukur karena akhirnya cita-cita Gara dan
keluarganya tercapai, tanpa gangguan apapun darinya.
Kepuasan
Mitha digapainya dengan keberhasilan setiap rencana pengorbanannya
untuk keberhasilan Gara, kepuasan menyaksikan kebencian Gara yang mampu
membuat lelaki itu melupakannya, kepuasan melihat Gara dan keluarganya
berbaikan kembali setelah sekian lama berkutat atas hubungan mereka,
kepuasan atas keberhasilan Gara memenuhi tuntutan orang tuanya, dan
terutama, kepuasan karena akhirnya ia berhasil menyerahkan
keperawanannya kepada satu-satunya orang yang ia kasihi, Gara, walaupun
semuanya terasa begitu menyakitkan, dan lebih menyakitkan ketika
sudut-sudut matanya menyaksikan linangan air mata di pipi dukun bayi itu
saat mengangkat bakal janin dari rahimnya Agen Poker yang kini invalid.
Mitha
merasakan hidupnya selesai, hasratnya akan keindahan dan kemolekan
keduniawian yang semu di masa depannya lenyap sudah. Namun kematian ini
dianggapnya sebagai sebuah kebangkitan hidup baru berwujud penyerahan
seluruh jiwa dan raganya ke tangan Penciptanya dalam pelayanannya di
sepanjang sisa hidup baru itu. Kenangan akan cintanya yang hanya sekali
selamanya merupakan pemicu kedekatannya pada Tuhannya, dan dalam tangis
pertobatannya setiap malam, nama Gara adalah satu yang takkan pernah
terlewatkan.
Kota X, lebaran kedua
Ray
menghentikan mobilnya, memandang matahari yang mulai melewati atap-atap
rumah, "Ahh, tak terasa hari mulai pagi." Mitha tersenyum, memutar
tubuhnya menghadap Ray, sahabat bermainnya sejak kecil, satu sosok yang
diletakkannya di urutan kedua setelah Gara. "Ray..." Ray membalas
pelukan Mitha, merasakan tanggul di kantung matanya hancur, membasahi
pundak Mitha dengan air matanya, "Cengeng ah, aku tidak apa-apa kok."
Ray membenamkan kepalanya, merasa bingung, karena apapun yang akan
dilakukannya tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi. Mitha
menepuk punggung Ray, merasakan air matanya sendiri mengalir membasahi
baju sahabatnya. "Jangan lupa kunjungi aku di sana, Ray." "Aku takkan
melewatkan kesempatan itu, untuk melihat kerudung menghiasi
keanggunanmu." bisik Ray di telinga Mitha. Mitha tertawa kecil di sela
isaknya, "Perayu bodoh." "Tetaplah berdoa untukku," Mitha mengecup
kening Ray,"terima kasih karena telah mengingatkanku bahwa kasih dan
pengorbanan adalah lebih utama daripada cinta." Mitha menghapus air mata
yang mengalir di pipi sahabatnya dengan ibu jarinya, merasakan kasih
sayang seperti seorang ibu kepada anaknya, seperti seorang kakak kepada
adik kesayangannya. "Selalu." Ray menjawab lirih, enggan melepas
kepergian Mitha dan kehangatan kenangan persahabatan mereka yang sebulan
berikutnya tidak akan dapat terulang seperti dulu lagi.
Ray
mengamati Mitha yang keluar dari mobilnya, melangkah membuka pagar
rumahnya, dan melambaikan tangan mengiringi tekanan kakinya pada pedal
gas di bawahnya.
Ray
menghentikan mobilnya beberapa meter kemudian, melompat turun,
menghapus air mata yang mengalir kembali di pipinya, melambaikan
tanganya dan berteriak,"Selamat Natal, Mitha!!" Mitha berlari kecil
keluar pagar, meletakkan telapak tangannya di sisi pipinya.
"Selamat Lebaran, Ray!!"
"Selamat Lebaran, Ray!!"
Persahabatan dan kasih, adalah harta yang tak ternilai harganya.
THE END
Mungkinkah
kejadian di atas terjadi? Ah, siapapun takkan menyangkal apabila nafsu
yang berwujud emosi akan berubah menjadi tangan-tangan setan yang
menghalalkan segala tindakan untuk pemuasannya. Dan hal ini dirasakan
dan telah diperhitungkan secara matang oleh sahabatku, Mitha. Aku kagum
dengan pola pikirnya dan perencanaannya yang brilian, dan aku terharu
akan kasihnya yang begitu dalam kepada Gara. Rasa malu sangat kurasakan
ketika aku berkotbah tentang pengorbanan kasih kepada Mitha, sementara
pada BandarQ kenyataannya, ia lebih mengerti daripada aku yang hanya berteori.
Pengalaman ini ingin kubagi bersama para pembaca, karena mungkin pembaca
dapat memetik beberapa point yang dianggap paling berkesan dari
pengakuan ini.
Aku? Aku sudah melakukannya....
Tobat? Entahlah....
Tobat? Entahlah....