UA-109841830-1

Meninggikan Parliamentary Threshold Dinilai Membunuh Partai Baru !



Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz menilai secara sosiologis problem politik di Indonesia karena tidak adanya partai besar di Indonesia.
"Kalau tidak ada partai besar pengelolaan (fungsi DPR) dengan cara koalisi. Partai politik dengan persentasi kecil semakin banyak dan besar koalisi dan semakin ribut efektivitas pemerintahan yang terjadi," kata pria yang akrab disapa Maskur itu dalam diskusi Ihwal Ambang Batas Parlemen di Jakarta, Minggu (24/7/2016).
Seperti yang diketahui, belakangan beberapa partai sudah mulai mewacanakan untuk menaikkan ambang batas suara minimal atauparliamentary threshold (PT) dalam pembahasan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Pada Pemilu 2014 angka PT hanya 3,5 persen.

Ada beberapa opsi untuk Pemilu 2019, yakni 7 persen bahkan 9 persen. Hal itu digaungkan dengan tujuan penyederhanaan partai politik di DPR.



"Idealnya partai politik ya membesarkan partai sendiri. Sehingga, memperoleh kursi sangat banyak kemudian parpol kecil bergabung. Bukan menghalangi parpol kecil dan baru melalui PT. Sekarang justru yang terjadi membesarkan PT dengan tujuan menghalangi partai baru untuk ikut dalam pemilu dan kemudian membunuh partai-partai itu," katanya.

Seharusnya, lanjut Maskur, cara yang lebih halus dalam berkompetisi harusnya membesarkan partai sendiri melalui visi dan misi sehingga otomatis partai kecil akan bergabung dengan partai besar itu dalam bentuk koalisi.
"Salah tindakan yang seperti ini itu. Bagi kita memang seperti lumrah. Faktanya partai kita menjadi besar kecenderungan pecah ada. Sebagian besar mengalami konflik internal dan pecah. Ini pertarungan partai dan elit menghalangi elit yang pecah. Situasinya seperti itu, partai besar pecah membuat friksi, friksi dihalangi," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar