Nama Arcandra Tahar ramai dibicarakan publik beberapa hari ini. Ahli
kilang lepas pantai (offshore) ini diberhentikan oleh Presiden Jokowi
lantaran kasus kewarganegaraan gandanya. Saat dilantik, pria kelahiran
Padang ini ternyata berkewarganegaraan Amerika Serikat.
Siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan Arcandra ke Presiden,
hingga akhirnya dia dilantik menjadi Menteri ESDM? Hal ini menjadi
penting karena kasus Arcandra ini sepanjang sejarah Indonesia merdeka,
ada warga negara asing menjadi menteri. Betapa cerobohnya proses
rekrutmen elit di republik ini.
Sebelum pencopotan Arcandra, publik masih diingatkan bagaimana orang
terkuat dan terdekat Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan mengancam akan
mem-buldozer siapapun yang berani ganggu Arcandra. Istilah akan
mem-buldozer lawan politiknya mengingatkan kita pada istilah yang keras
dan sangar. Istilah Luhut ini mirip dengan istilah "libas" yang
dikeluarkan Panglima TNI Faisal Tanjung, atau istilah "Gebuk" oleh Pak
Harto. Mengapa Luhut siap pasang badan hingga mengeluarkan ancaman itu?
Memang siapa yang akan mengganggu Arcandra dalam misinya di kementerian
ESDM?
Dari berbagai sumber, merdeka.com (17/8) misalnya, menyebutkan bahwa
Arcandra memang diusulkan oleh Luhut dan Darmawan Prasodjo (Darmo), dua
orang dekat Jokowi. Menurut media tersebut, usulan itu tidak lepas dari
rekomendasi orang-orang yang terjerat pada kasus SKK Migas era Rudi
Rubiandini.
Darmo sendiri saat ini menjabat Deputi I (Bidang Perencanaan, Kajian
serta Monitoring dan Evaluasi Program Prioritas Nasional) Kantor Staf
Presiden (KSP). Direkrut Luhut saat Luhut menjadi Kepala Staf Presiden.
Arcandra dan Darmo sama-sama lulusan Texas A&M University,
Amerika. Keduanya sudah dekat sejak sama-sama tinggal di negeri Paman
Sam itu. Darmo juga dikenal mentor Jokowi selama masa kampanye untuk
urusan minyak dan gas.
Sebagai Deputi I KSP, Darmo berperan sebagai pemberi second opinion
kepada Jokowi untuk pengelolaan sumber daya mineral. Pandangan Darmo
beberapa kali berseberangan dengan Menteri ESDM sebelumnya yaitu
Sudirman Said dalam kasus Freeport, Blok Mahakam, dan Blok Masela.
Jauh sebelum kasus Arcandra, Luhut dan Darmo juga terseret kasus Papa
Minta Saham. Darmo disebut 13 kali dalam rekaman yang dibuat oleh
Maroef Sjamsoeddin, Direktur PT Freeport (saat itu) dalam diskusinya
dengan Setya Novanto dan Riza Chalid.
Saat rekaman itu diambil, Setya Novanto menjabat sebagai Ketua DPR,
sedangkan Riza Chalid adalah pengusaha yang diduga tokoh mafia
perdagangan minyak dan gas hingga dijuluki 'Saudagar Minyak'. Dalam
rekaman, Setya Novanto menggambarkan Darmo sebagai sosok pintar yang
disukai Presiden Joko Widodo. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa
Darmo sudah masuk ke dalam payroll Riza Chalid.
Sedangkan nama Luhut sendiri disebut sebanyak 66 kali sebagai pihak
yang dapat mengatur pembagian saham Freeport dalam rekaman itu. Namun
pengusutan kasus Papa Minta Saham ini kandas lantaran Riza Chalid hingga
saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Ada sebuah teori yang menyebutkan ‘didatangkannya’ Arcandra adalah
masih terkait dengan polemik kepentingan seputar skema pengelolaan
eksplorasi gas di Blok Masela di Maluku Selatan (Masela). Untuk itu mari
kita mundur ke belakang, pada polemik berkepanjangan antara
kubu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu yang
menginginkan skema offshore atau lepas pantai dengan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli yang menyorongkan skema onshore.
Presiden Jokowi sendiri akhirnya memutuskan skema pengelolaan eksplorasi gas Blok Masela dengan mekanisme darat atau onshore. Alasan skema onshore
dipilih adalah karena pemerintah menginginkan pembangunan ekonomi
daerah dan nasional ikut meningkat dengan pembangunan Blok Masela. Skema
onshore dinilai dapat memicu pembangunan wilayah.
Konon, Keinginan Sudirman Said dengan skema offshore itu
dinilai sarat dengan muatan kepentingan kelompok bisnis tertentu(RMOL,
14/3). Tapi Sudirman tidak sendiri, Luhut juga punya kepentingan yang
sama. Luhut menginginkan agar pengelolaan Blok Masela adalah dengan
skema offshore. Hanya saja ‘sponsor di belakang’ keduanya berbeda. Itu makanya keduanya juga tidak pernah bisa akur.
Dalam teori migas sistem dengan menggunakan skema offshore memang jauh lebih baik ketimbang onshore. Pengelolaan
hidrodinamikanya akan tahan lama dan efisien. Praktis karena hanya
menggunakan kapal apung, tak perlu memasang instalasi pipa yang mudah
korosi.
Akan tetapi harus diingat, kalau lokus pembangunan fisiknya berada di
tengah laut sangat berpotensi terjadinya pencurian migas oleh pihak
asing dan juga berpotensi menggadainya kepada kepentingan politik
ekonomi asing. Sistem data base Pertamina akan kesulitan menjangkau
hasil produksi apabila menggunakan pengelolaan offshore, sehingga
berpotensi terjadi penggelapan. Selain itu, Ditjen Pajak pun akan
kesulitan meng-cover volume hasil produksi yang menjadi dasar pendapatan
pajak migas.
Nah, nampaknya pengelolaan Blok Masela dengan skema offshore
ini masih menjadi agenda Luhut. Sebelum perombakan kabinet jilid 2,
Luhut yang selama ini dikenal sebagai tangan kanan Presiden Jokowi pasti
sudah mengetahui siapa saja menteri yang akan didepak. Diantaranya
adalah Sudirman Said.
Bersama Darmo, Luhut pun mengontak Arcandra Tahar yang memang ahli di bidang sistem pengeboran offshore. Strateginya adalah untuk mempengaruhi presiden merubah skema pengelolaan dari onshore ke offshore dengan mengusulkan Arcandra menduduki jabatan Menteri ESDM. Arcandra adalah pemegang gelar Master of Science and Doctor of Philosophy Degrees in Ocean Engineering, Texas A & M Univercity.
Sayang strateginya itu harus kandas karena status kewarganegaraan
ganda Arcandra. Tapi, toh, ditunjuknya dirinya sebagai Plt Menteri ESDM
oleh Presiden Jokowi tak mematikan keinginannya. Kabarnya, Luhut kembali
merekomendasikan ‘orangnya’ untuk duduk menggantikan posisi Menteri
yang kosong itu. Dia adalah Satya Wira Yudha, kadernya Setya Novanto.
Kroni sejatinya pada kasus “Papa Minta Saham.”
Betapa republik ini betul-betul berada di genggaman Luhut.
0 komentar:
Posting Komentar